Pembelajaran Berbagi Keahlian

Perkembangan teknologi canggih seperti teknologi robot, kecerdasan buatan (artificial intelligence), the Internet of Things, cloud, big data, virtual reality, serta augmented reality telah menggerakkan revolusi industri tahap keempat. Revolusi ini ditandai oleh semakin meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk menciptakan interkonektivitas, sistem cerdas, dan otomasi. Sistem cerdas dan otomasi yang saling terhubung yang menyatukan dunia nyata dengan dunia virtual berhasil membuat proses produksi barang dan jasa di dunia industri menjadi semakin efektif dan efisien.

Era Revolusi Industri 4.0

Dewasa ini semakin banyak teknologi robot yang dimanfaatkan di dunia industri. Robot-robot yang awalnya dioperasikan oleh manusia, kini telah beralih dikendalikan secara otomatis oleh suatu sistem cerdas yang disebut kecerdasan buatan (artificial intelligence) sehingga mengurangi campur tangan manusia. Robot dan sistem cerdas yang mengendalikannya saling terhubung satu sama lain berkat teknologi yang disebut internet of things (IoT). Robot dan sistem cerdas tersebut dilengkapi dengan berbagai macam sensor untuk mengumpulkan data tentang keseluruhan proses yang dikerjakannya. Sensor tersebut berhasil menggantikan peran manusia dalam mengumpulkan data.

Data yang dikumpulkan oleh berbagai sumber termasuk sensor kemudian disimpan dan diproses dengan memanfaatkan teknologi yang disebut big data. Teknologi ini memungkinkan untuk menyimpan dan memproses data dalam jumlah besar dengan kecepatan yang luar biasa sehingga menghasilkan informasi yang tepat dan akurat. Teknologi tersebut dilengkapi juga dengan teknologi pusat data (data centre) yang disebut cloud yang merupakan alternatif penyimpanan data yang terkoneksi datu sama lain sehingga proses pengolahan data dari tempat yang berjauhan dapat dilakukan secara lebih cepat. Penyimpanan dan pemrosesan data super cepat tersebut mustahil dilakukan oleh manusia paling jenius sekali pun.

Informasi yang dihasilkan oleh teknologi big data kemudian dijadikan dasar untuk perencanaan produksi dan simulasi. Simulasi merupakan pengganti ujicoba sebenarnya di dunia nyata yang seringkali berbiaya besar dan mengandung banyak resiko termasuk resiko keselamatan. Simulasi dilakukan di dunia maya (virtual) dengan memanfaatkan teknologi virtual reality atau augmented reality untuk mengurangi resiko. Simulasi sangat penting dilakukan untuk memeriksa kelemahan, kekurangan, serta keakuratan perencanaan sekaligus memprediksi dampaknya di masa depan. Kelemahan dan kekurangan yang muncul kemudian diperbaiki untuk kemudian disimulasikan kembali sampai diperoleh tingkat kesalahan seminimal mungkin.

Berbagai teknologi canggih di atas telah mengubah secara drastis cara merencanakan, mengujicoba, memproduksi, memasarkan, serta mendistribusikan barang dan jasa di dunia industri. Tingkat kesalahan produksi dapat dipangkas hingga mendekati nol persen. Begitu juga dengan biaya dan waktu produksi dapat dipangkas seminimal mungkin. Hal itu memungkinkan dunia industri memproduksi barang lebih cepat sekaligus lebih murah. Distribusinya pun juga dapat dilakukan secara lebih cepat. Berkat teknologi canggihnya, revolusi industri tahap keempat telah berhasil meningkatkan efisiensi dan kenyamanan hidup manusia. Manusia menjadi lebih cepat dan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Namun, revolusi industri tahap keempat juga menghadirkan dampak negatif yang tidak dapat dielakkan seperti gangguan pada pasar kerja (Howell & Schwab, 2018). Teknologi canggih yang digunakan dunia industri sudah menggeser tenaga kerja manusia di banyak pabrik skala besar, yang menyebabkan banyak tenaga kerja kehilangan pekerjaannya dan mengancam tenaga kerja lainnya (Martens & Tolan, 2018). Sementara itu, tuntutan pemerintah dan perusahaan terhadap tenaga kerja yang memiliki keterampilan tinggi semakin meningkat untuk menghadapi tantangan, peluang, dan resiko baru yang dimunculkan oleh revolusi industri keempat ini (Durazzi, 2018).

Era Ekonomi Kreatif

Teknologi canggih di dunia industri telah memangkas lapangan kerja secara besar-besaran. Untuk menggantikan lapangan kerja yang hilang tersebut, perlu alternatif lapangan pekerjaan baru yang berbasiskan gagasan-gagasan kreatif. Muncullah kemudian istilah ekonomi kreatif yang diperkenalkan oleh John Howkins dalam bukunya yang berjudul The Creative Economy: How People Make Money from Ideas. Dalam bukunya itu, Howkins mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai penciptaan nilai-nilai sebagai sebuah hasil dari ide. Howkins menjelaskan bahwa karakter ekonomi kreatif dicirikan dari aktivitas ekonomi yang bertumpu pada eksplorasi dan eksploitasi ide-ide kreatif yang memiliki nilai jual tinggi.

Ekonomi kreatif memiliki dua keunggulan sekaligus. Selain dapat mengatasi masalah pengangguran, ekonomi kreatif juga dapat meningkatkan perekonomian suatu negara. Lapangan pekerjaan kreatif merupakan alternatif yang menjanjikan untuk menggantikan lapangan pekerjaan formal yang banyak hilang karena digeser oleh teknologi canggih. Lapangan pekerjaan kreatif meliputi banyak bidang, seperti arsitektur, periklanan, film, fotografi, musik, penerbitan, pasar seni dan budaya, kerajinan, fashion, desain, permainan interaktif, web desain, seni pertunjukan, percetakan, serta riset dan pengembangan. Semua jenis pekerjaan itu masih bisa dijelajahi tanpa batas dan dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru. Ekspor produk-produk kreatif diprediksi juga akan menjadi salah satu penyumbang pendapatan negara yang signifikan.

Pekerjaan di sektor kreatif juga memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman otomasi oleh robot-robot. Sebuah kajian tentang ‘Kreativitas vs Robot’ yang dilakukan oleh Nesta pada tahun 2015 menunjukkan bahwa sektor kreatif memiliki daya tahan terhadap ancaman otomatisasi robot mencapai 86% di Ameriksa Serikat dan 87% di Inggris (Newbigin, 2020). Itu artinya, pekerjaan kreatif tidak memiliki resiko atau beresiko rendah untuk digantikan oleh otomasi robot-robot. Pekerjaan kreatif diprediksi akan mewarnai abadi 21. Bahkan banyak pakar di berbagai bidang yang menganggap bahwa kreativitas merupakan bahan bakar utama kemajuan abad 21.

Tentu saja, untuk menggerakkan perekonomian berbasis kreativitas, dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Gagasan-gagasan kreatif dan inovatif membutuhkan keterampilan tingkat tinggi untuk menghasilkannya, terutama keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif tersebut, lembaga pendidikan terutama institusi pendidikan tinggi harus terus menyesuaikan diri. Peningkatan kualitas sumber daya lulusan perguruan tinggi harus terus menerus ditingkatkan. Perguruan tinggi harus membuat kebijakan-kebijakan serta menerapkan berbagai strategi peningkatan kualitas lulusan.

Employability Lulusan Pendidikan Tinggi

Untuk merespon tuntutan baru dalam dunia kerja di era revolusi industri 4.0 dan era ekonomi kreatif, mau tidak mau institusi pendidikan tinggi harus meningkatkan employability lulusannya. Employability didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan (Hillage & Pollard, 1998). Secara umum ada dua kategori employability yaitu pengetahuan dan keterampilan khusus bidang tertentu, dan keterampilan generik (Clanchy & Ballard, 1995).

Berbagai survey terhadap pemilik perusahaan menunjukkan bahwa pengetahuan dan keterampilan bidang tertentu saja tidak cukup untuk sukses dalam pasar kerja sekarang ini (Wolff & Booth, 2018). Seseorang juga membutuhkan beberapa keterampilan umum sebagai faktor esensial untuk beradaptasi dalam dunia kerja yang terus berubah. Keterampilan umum yang sangat relevan dengan tuntutan di era revolusi industri keempat ini diantaranya adalah keterampilan dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (Voogt & Roblin, 2012), keterampilan berkomunikasi, keterampilan bekerja dalam tim, keterampilan menyelesaikan masalah, kreativitas, keterampilan berpikir kritis, manajemen waktu, serta keterampilan meneliti (Osmani, Weerakkody & Hindi, 2017).

Peningkatan employability lulusan sudah tidak bisa dihindari lagi oleh institusi perguruan tinggi. Bahkan, peningkatan employability lulusan sudah menjadi tugas utama institusi (Bridgstock, 2014). Peningkatan tersebut juga sudah menjadi misi baru banyak institusi pendidikan tinggi (Suleman, 2018). Employability sudah menjadi indikator kinerja (Morley, 2002), atau aspek kualitas pendidikan tinggi (Støren & Aamodt, 2010). Secara ekstrim dapat dinyatakan bahwa daya saing institusi perguruan tinggi sangat ditentukan oleh employability lulusannya. Institusi yang mampu memberikan jaminan kepada lulusannya untuk mendapatkan atau bahkan menciptakan lapangan pekerjaan setelah mereka lulus tentu lebih diminati dibandingkan dengan institusi yang lepas tangan begitu saja. Semakin tinggi tingkat penyerapan lulusan di dunia kerja semakin tinggi minat calon mahasiswa terhadap perguruan tinggi tersebut.

Pembelajaran aktif pada pendidikan tinggi (active learning in higher education)

Revolusi proses belajar dan pembelajaran di perguruan tinggi merupakan salah satu upaya yang signifikan untuk meningkatkan employability (Bridgstock, 2016). Revolusi yang tidak dapat dihindari adalah pergeseran paradigma belajar dan pembelajaran dari pengajaran (kuliah) berpusat pada dosen menjadi pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Dosen dianggap sudah tidak relevan lagi menjadi pusat atau sumber belajar yang seringkali mendominasi proses pengajaran. Mahasiswalah yang harus diberi otoritas lebih besar serta didorong lebih aktif belajar secara mandiri. Paradigma seperti itulah yang sering disebut pembelajaran aktif pada pendidikan tinggi (active learning in higher education).

Bonwell dan Eison (1991) sudah lama mengusulkan agar pembelajaran di institusi pendidikan tinggi mengaktifkan mahasiswa untuk belajar. Metode kuliah dimana dosen menyajikan materi kepada mahasiswa sudah tidak relevan lagi diterapkan untuk membekali mahasiswa dengan berbagai kompetensi yang dibutuhkannya untuk masuk ke dunia kerja atau menciptakan lapangan pekerjaan baru. Metode kuliah seperti itu tidak tepat untuk mengembangkan semua potensi di diri mahasiswa.

Pembelajaran aktif pada pendidikan tinggi dapat diwujudkan melalui hubungan yang lebih fleksibel antara dosen dan mahasiswa (Frymier & Houser, 2000). Dosen dapat melibatkan mahasiswa secara aktif selama proses pembelajaran dengan lebih banyak meminta mereka mengajukan pendapat dan gagasannya. Dosen dapat mengajukan berbagai pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi yang menuntut mahasiswa melakukan penalaran logis. Pengajuan pertanyaan-pertanyaan kepada mahasiswa jauh lebih efektif untuk mengaktifkan mereka dibandingkan strategi pengajaran melalui penyajian materi pelajaran dari satu arah saja.

Pembelajaran aktif juga dapat diwujudkan dengan mendorong mahasiswa lebih intens berinteraksi sesama mereka. Mahasiswa dapat didorong untuk berdiskusi dalam kelompok kecil guna membahas suatu topik. Mereka juga dapat ditugaskan mengerjakan suatu proyek secara kolaboratif untuk memecahkan suatu permasalahan. Untuk meningkatkan rasa percaya diri dan keterampilan komunikasinya, mahasiswa juga hendaknya diberi kesempatan lebih banyak untuk menyampaikan ide, gagasan, pendapat, atau karya yang telah dihasilkannya, baik kepada rekan sejawatnya maupun kepada orang banyak.

Interaksi antara mahasiswa dengan sumber belajar dan lingkungan yang lebih intens juga merupakan ciri dari pembelajaran aktif. Mahasiswa dapat didorong untuk memeriksa berbagai sumber referensi yang tersedia secara melimpah, terutama di internet. Mereka juga dapat ditugaskan secara langsung mengamati lingkungan sekitar untuk mengidentifikasi masalah, mengajukan hipotesis-hipotesis, mengumpulkan data, serta menarik kesimpulan dalam rangka membangun pengetahuan baru.

Peran dosen tetap penting pada waktu mahasiswa berinteraksi dengan sesamanya serta dengan sumber belajar. Dosen dapat berperan sebagai fasilitator dan pembimbing yang memfasilitasi, mengarahkan, membimbing, dan membantu mahasiswa berinteraksi sesama mereka serta dengan beragam sumber belajar yang tersedia. Dosen juga dapat berperan sebagai reviewer dan supervisor yang meninjau proses belajar yang dilakukan mahasiswa serta mengidentifikasi kelemahan, kekurangan, atau kekeliruan yang mungkin muncul. Dosen dapat meluruskan hal-hal yang keliru. Dosen kemudian dapat berperan sebagai asesor untuk menilai tingkat capaian mereka setelah melakukan berbagai aktivitas belajar.

Pembelajaran berbagi keahlian

Pembelajaran berbagi keahlian merupakan salah satu inovasi terbaru pembelajaran aktif pada pendidikan tinggi untuk meningkatkan employability lulusan pendidikan tinggi (Noperman et al., 2020). Pembelajaran ini menekankan pada dua kegiatan utama yaitu proses mahasiswa mencari dan menemukan sendiri pengetahuan yang harus dikuasainya serta proses mahasiswa membagikan pengetahuannya tersebut. Ada dua model pembelajaran berbagi keahlian yang akan diperkenalkan di dalam buku ini yaitu yaitu Inquiry-Based Expertise Sharing (IBES) atau Berbagi Keahlian Berbasis Inkuiri dan Project-Based Expertise Sharing (PBES) atau Berbagi Keahlian Berbasis Proyek.

Kedua model di atas berbeda pada aspek yang harus dikuasai mahasiswa. Pada model IBES, penekanan pembelajarannya hanya pada pencarian dan penguasaan pengetahuan. Sementara pada model PBES, penekanannya tidak hanya pada penguasaan pengetahuan melainkan juga penerapan pengetahuan tersebut untuk memecahkan masalah praktis dalam kehidupan. Model IBES akan diperkenalkan dan dibahas secara mendalam pada bab 2. Sementara model PBES akan dibahas secara mendalam pada bab 3.
Model pembelajaran berbagi keahlian menekankan pada penguasaan topik-topik tertentu oleh kelompok-kelompok ahli tertentu. Setelah itu mereka didorong untuk saling membagikan keahlian antar anggota kelompok ahli yang berbeda, sehingga pada akhir pembelajaran, semua mahasiswa memperoleh pengetahuan yang utuh. Untuk membuat setiap kelompok ahli dapat mempelajari topik keahliannya secara mandiri, topik-topik yang dipelajari harus bersifat independen. Untuk tujuan tersebut, bahan ajar yang dipelajari mahasiswa harus diorganisasikan secara independen. Cara pengorganisasian topik-topik bahan ajar yang bersifat independen ini disebut pengorganisasian secara paralel. Seperti apa bentuk dan prosedur pegembangan bahan ajar secara paralel akan dibahas secara detil pada bab 4.

Karakteristik utama dari pembelajaran berbagi keahlian adalah adanya aktivitas berbagi antar ahli yang berbeda. Kegiatan berbagi ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Untuk menghindari kejenuhan dan kebosanan pada mahasiswa, metode berbagi yang diterapkan dapat dibuat bervariasi. Ada banyak alternatif metode berbagi yang dapat digunakan, mulai dari investigasi berpasangan, presentasi kelompok kecil, dan lain sebagainya. Bab 5 akan menguraikan sebuah kerangka pikir komprehensif tentang metode berbagi pengetahuan yang menyediakan banyak sekali alternatif metode berbagi keahlian.

Pembelajaran berbagi keahlian merupakan salah satu strategi pembelajaran yang berpusat pada aktivitas mahasiswa. Pembelajaran ini membutuhkan suatu sistem pemantauan dan penilaian khusus untuk menjamin kualitas proses pembelajaran dan hasil belajarnya. Sebagai tambahan, pemberian penghargaan kepada mahasiswa juga penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar mereka. Sistem pemantauan, penilaian, dan penghargaan bukan hanya dapat mengukur ketercapaian hasil belajar mahasiswa, melainkan juga dapat meningkatkan keterlibatan, minat, dan motivasi belajar mereka. Sistem tersebut akan dibahas secara detil pada bab 6.

Pembelajaran berbagi keahlian tidak hanya dapat diterapkan secara konvensional melalui tatap muka di kelas, melainkan dapat juga diterapkan menggunakan teknologi terbaru. Pembelajaran berbagi keahlian dapat diintegrasikan dengan teknologi informasi dan komunikasi sehingga dapat menjadi salah satu alternatif bentuk pembelajaran tatap muka yang diperkuat teknologi (technologies-enhanced face to face learning), pembelajaran daring (online learning), atau pembelajaran campuran (blended learning). Bab 7 akan menguraikan tentang pengintegrasian tersebut.

Bab 8 akan menutup buku ini dengan uraian tentang keunggulan pembelajaran berbagi keahlian dibandingkan dengan strategi lain pembelajaran di perguruan tinggi yang sudah pernah dikembangkan sebelumnya. Pembelajaran berbagi keahlian sangat jauh berbeda dengan pembelajaran berpusat pada dosen (kuliah atau ceramah) yang mungkin masih sering diselenggarakan pada jenjang pendidikan tinggi. Pembelajaran berbagi keahlian juga bukan sekedar pembelajaran aktif seperti yang ditawarkan oleh model-model pembelajaran aktif lainnya. Pembelajaran ini sangat komplit karena bersifat integratif dan komprehensif. Pembelajaran ini dapat memfasilitasi pengembangan potensi mahasiswa tanpa batas dalam rangka meningkatkan employability mereka.

Penulis: Feri Noperman (sedang dalam proses penerbitan)

Komentar